Fitrah Manusia dan Etos Kerja Menuju Sukses

Selasa, 16 Juni 2020

Yuslizar S.P. M.M.A

 

Oleh : Yuslizar S.P.,M.M.A (Dosen Faperta UNISI)

Allah telah menganugrahkan fitrah kepada setiap manusia yang diciptakan-Nya. Namun kadang manusia banyak yang tidak menyadari dan mensyukurinya bahkan manusia ada yang menyimpang dari fitrahnya. Oleh sebab itu, manusia memerlukan petunjuk pengetahuan dan bimbingan dari Allah yang disampaikan kepada rasul-rasulnya yang harus dipedomani manusia  agar kembali kepada fitrah yang sesungguhnya.  Dalam Al-Qur’an surat  Ar-Ruum ayat 30  Allah berfirman “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dalam ayat tersebut secara harfiah dijelaskan bahwa manusia diciptakan  oleh Allah sesuai dengan fitrahnya yaitu agama yang lurus.  Sebagaimana janji  yang telah dipatrikan manusia kepada  Allah SWT  saat didalam rahim ibunya. 

Kata fitrah secara etimologis adalah sifat, asal, kesucian bakat, pembawaan (Pengertian fitrah berarti “terbukanya sesuatu dan melahirkanya” seperti orang yang berbuka puasa. Dari makna dasar tersebut maka berkembang menjadi dua makna pokok; pertama, fitrah berarti al-insyiq?q atau al-syaqq yang berarti al-inkis?r (pecah atau belah); kedua, fitrah berarti al-khilqah, al-?j?d, atau al-ibd?’ (pencipta-an), (Nuansa-Nuansa Psikologi Islam). Dari pengertian tersebut, pada dasarnya, asal kejadian manusia itu diciptakan oleh Allah SWT dengan kondisi yang terbaik daripada makhluk lainnya. Akan tetapi, dalam perjalanannya, terdapat penyimpangan-penyimpangan dari aturan Allah sehingga tergeser dari kondisi fitrahnya. Oleh sebab itu, manusia pertama dan periode selanjutnya memerlukan petunjuk pengetahuan dan bimbingan dari Allah yang disampaikan kepada rasul-rasulnya agar kembali kepada fitrah yang sesungguhnya. 

Agar manusia tetap berada dalam fitrah yang sudah Allah anugrahkan, maka manusia harus memaksimalkan potensi-pontensinya secara terus-terus. Potensi-potensi tersebut berupa  (1) jismiyyah atau jasmaniah,  (2) nafsiyyah  (3) r?hiyyah. Potensi  jismiyyah atau jasmaniah. adalah organ fisik dan biologis manusia dengan segala perangkat-perangkatnya. Organ fisik-biologis manusia adalah organ fisik yang paling sempurna di antara semua makhluk. Sebagaimana firman Allah  dalam Q.S Al-T?n:4  Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”Aspek jismiyyah ini memiliki beberapa karakteristik seperti memiliki bentuk, rupa, kuantitas, berkadar, bergerak, diam, tumbuh, kembang, serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ, dan bersifat material yang substansinya sebenarnya mati dan lain-lain.  Penjagaan fitrah manusia dari sisi jasadiyah ini terdapat dalam aturan aturan Allah, di antaranya menjaga struktur makanan dan minuman yang hal?lan thayyiban yaitu nutrisi yang halal secara hukumnya maupun memiliki kadar gizi yang mencukupi untuk pertumbuhan jasad manusia. Sehingga kita bisa mengambilan pelajaran dari kekuatan fisik yang dimiliki oleh qudwah kita nabi Muhammad SAW yang hingga usia 63 tahun masih memiliki postur badan yang atletis dan bugar. Dan menurut riwayat bahwa Beliau memulai peperangan ketika usianya 53 Tahun. Dan ternyata Rasulullah memakai baju besi sebanyak 2 lapis dan tentu 1 lapis saja sudah berat. Dan perjalanan menuju medan perang pun juga tak kalah jauhnya sampai berkilo-kilo meter. Sungguh luar biasa, itu mengindikasikan bahwa fisik Beliau sangat-sangat prima.

Potensi berikutnya Nafsiyyah  yaitu keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa pikiran, perasaan, kemauan dan kebebasan. potensi ini merupakan persentuhan antara aspek jismiyyah dengan aspek r?hiyyah.  Potensi ini mewadahi kedua aspek yang saling berbeda dan kemungkinan berlawanan. Aspek nafsiyyah ini memiliki tiga dimensi utama lagi yaitu al-nafs, al-‘aql dan al-qalb yang menjadikan aspek nafsiyyah ini mewujudkan peran dan fungsinya. Di dalam Al-Qur’an kata nafs menunjukkan sesuatu di dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku seperti yang tertera dalam Q.S. Al-Ra’d :11: Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Pada surat lain juga dijelaskan bahwa al-nafs adalah merupakan potensi manusia yang menunjukan kearah keburukan maupun kebaikan yaitu Q.S. Al-Syams:7-8:

Artinya: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), (7) Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (8). Potensi al-nafs ini dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah mendapat pengaruh yang besar dari pemahaman dalam aturan-aturan pengendalian dimensi psikis manusia yang lain yaitu akal, sedangkan secara etimologis, akal memiliki arti al-ims?k (menahan), al-rib?th (ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan al-man’ (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini maka yang disebut orang berakal (al-‘?qil) adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya sehingga mampu bereksistensi. 

Dalam Al-Qur’an, penjelasan akal ini terdapat dalam berbagai macam surat dan ayat yang menjelaskan bagaimana fungsi akal yang sebenarnya, yaitu daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Al-‘Ankabut:43: Artinya : “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”. Selain itu, akal dalam konteks Al-Qur’an juga mengandung pengertian bahwa orang berakal itu lebih dari sekedar berpengetahuan namun juga memiliki daya pemahaman yang lebih tinggi untuk memahami Dzat Yang Maha Agung sebagai wujud eksistensi akal ruhani. Hal ini dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah:164: Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

Selain itu, akal berfungsi sebagai dorongan moral untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat al-nafs al-amm?rah sehingga manusia tidak keluar dari konsep fitrahnya.

Seperti termaktub dalam Q.S. Al-An’am:151: Artinya : “Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).

Fungsi terakhir akal adalah sebagai daya untuk mengambil pelajaran, kesimpulan dan hikmah sehingga manusia dapat memahami, menganalisis dan menyimpulkan serta memberikan dorongan moral yang disertai dengan kematangan berfikir. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Q.S. Al-Mulk:10: Artinya : “Dan mereka berkata: ‘Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". Dan akal ini hanya terdapat pada seorang makhluk saja, yaitu insan bernama manusia. Itulah yang membedakan antara manusia dengan binatang, tumbuhan, setan, jin, dan malaikat sekalipun. Akal yang diberikan oleh Allah untuk kita seharusnya dimanfaatkan dengan baik dengan memikirkan ayat-ayat kauliyah (tersurat) dan ayat-ayat kauniyah (tersirat). Sehingga tercipta suatu letupan-letupan karya karenanya.

Dari kedua potensi yang disebutkan di atas yaitu potensi fisik dan potensi akal tidak identik dengan kemuliaan seseorang. Walaupun di dunia ada yang merasa angkuh, merasa paling besar, merasa hebat, merasa kuat tapi tidak nanti ketika di akhirat. Dan perlu diingat juga bahwa fisik itu lama-kelamaan akan kendor, keriput, tak tampak bagus lagi dilihat. Begitu juga akal yang pintar akan hilang dengan semakin menuanya seseorang, kualitas berpikirnya lama-kelamaan akan terkikis. Seperti itulah. Janganlah bersandar kepada kedua potensi tersebut kecuali digunakan dengan syar’i sesuai tuntunan al-Qur’an dan as Sunnah.

Potensi R?hiyyah  yaitu psikis manusia yang bersifat spiritual dan transandental. Sedangkan pengertian lain dari ruh adalah substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah kesempurnaan awal jism alami manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya. Ruh memiliki nilai multidimensi karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga dapat keluar masuk dari dalam tubuh manusia. Kematian tubuh bukan-lah kematian ruh. Ruh masuk kedalam tubuh ketika tubuh tersebut siap menerimanya. Berkaitan dengan ruh ini, dijelaskan dalam Q.S.Al-A’raf:172:  “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". Banyak sekali kisah baik dalam Al-Qur’an maupun siroh nabawiyah tentang kisah para Nabi, para rasul, sahabat, syuhada yang memiliki keimanan yang tinggi sehingga rasa keyakinan pertolongan dengan Allah swt begitu dekat dan khusu’dalam berdoa dalam naungan keimanan yang tinggi sehingga banyak goresan-goresan tinta emas sejarah yang memenangkan pasukan kaum  muslimin sedangkan mereka serta terbatas dari segala kebutuhan dalam sebuah peperangan.

Dari berbagai potensi yang sudah Allah berikan, tentunya manusia di tuntut untuk dapat memaksimalkan pontesi tersebut sehingga manusia dapat memperoleh kesuksesan di dunia dan akhirat. Untuk meraih kesuksesan tidak semudah membalikkan telapak tangan tetapi dibutuhkan kerja keras dan etos kerja yang jitu.  Dilihat dari maknya etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok.   Kata kerja dalam Alquran, diungkap setidaknya melalui empat kata, yaitu: al-‘Amal, a?-?an’u, al-Fi’il, alKasbu, dan as-Sa’yun. Ayat tentang kerja di dalam Alquran seluruhnya berjumah 602 kata. Adapun ayat-ayat dan hadis-hadis di bawah ini hanya merupakan sebagian dari sekian banyak ayat Alquran dan al-Hadis yang membahas tentang dunia kerja atau etos kerja, diantaranya adalah: “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. al-Taubah (9): 105).

Sesungguhnya kemauan kerja merupakan hal yang fitrah dalam kejiwaan manusia yang hukumnya telah diputuskan oleh kebutuhan manusia untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Islam mempertajam, mempersiapkan dan mendorong kemauan ini agar tercapai tujuan yang ingin dicapai oleh manusia. Dapat kita rasakan hal itu ketika Islam menanamkan dalam jiwa manusia bahwa usaha yang baik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari iman dan bahwa ia wajib berusaha dan bersungguh-sungguh kearah itu. (Al-‘Assal:1999)

Pontesi  fitrah yang dimiliki manusia harus diseimbangankan dengan etos kerja  agar terwujud kesuksesan  dalam mencari karunia Allah swt. “...Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashash (28): 76-77)

Ayat ini mengisahkan perilaku Qarun bin Yashhab bin Qahisy, orang yang dikenal sangat kaya raya di zaman Nabi Musa, akan tetapi Qarun dikenal sombong, yang menyebabkan hartanya ludes ditelan bumi. Ayat berikut mengingatkan semua manusia supaya memelihara prinsip keseimbangan hidup dalam menggapai kehidupan dunia dan akhirat, pada akhirnya tercapailah kesuksesan sebagaimana cita-cita yang diinginkan agar menjadi teladan dalam bersikap. 

 

Yuslizar adalah seorang praktisi pendidikan. Lahir di Simpang Gaung, menamatkan MAN Inhil sebelum Kuliah di Agribisnis UIR. Menyelesaikan S2 Manajemen Agribisnis UIR. Merupakan pendiri Sekolah SMP IT Insan Mulia Sungai Intan, dan PAUD Sebening Mutiara