Pudarnya Republikanisme pada Preferensi Demokrasi Indonesia

Senin, 27 April 2020

Foto : Internet

Oleh: Guntur Winanda Putra, Marwahrakyat.com

Filsuf kontemporer Amerika, Michael Walzer, telah memetakan preferensi pada demokrasi, dan salah satunya adalah republikanisme. Preferensi ini harus dikenali perkembangannya karena langsung bersentuhan dengan rakyat (demos) dan pemerintah (kratos). Jika dilihat dalam bingkai bernegara, republikanisme merupakan sebuah tatanan yang berporos langsung pada rakyat. Dengan kata lain rakyat diletakkan sebagai subjek otoritas utama dalam menentukan arah tujuan Negara.

Dengan kerap terjadinya politisasi di dalam demokrasi prosedural telah mengakibatkan pergeseran arti pada politik, sehingga politik dinilai tidak manusiawi dan profan dalam pelaksanaannya. Maka dari itu, republikanisme diharapkan mampu mengembalikan hakikat politik yang mulia, yaitu kebaikan publik. Sesuai dengan apa yang telah direntangkan oleh Aristoteles, politik di posisikan sebagai kepentingan publik atau yang lebih dikenal dengan istilah Res Publika, atau dapat juga di posisikan sebagai etika sehingga politik bukan sekedar cara mencapai tujuan.

Sedangkan di Indonesia sudah mencoba untuk menggunakan ideolistis ini sejak dari pra kemerdekaan lalu pasca kemerdekaan hingga kini. Pada masa pra kemerdekaan Indonesia gagasan republikan dipelopori oleh Tan Malaka melalui tulisan yang berjudul naar de republiek. Tan Malaka berusaha menyuguhkan tatanan bangsa yang hendak merdeka atas secara kolektif.

  Seiring perkembangannya, setidaknya Indonesia sempat memiliki nilai Republikanisme yang hampir sempurna dalam rentang waktu relatif singkat, di mana saat itu para pemuda memainkan posisi sentral dalam perubahan politis. Tercatat ada tiga peristiwa yang membanggakan pada demokrasi Indonesia, dimulai pada tahun 1945, lalu tahun 1965-1966, hingga yang monumental pada tahun 1998 melalui pergerakan Mahasiswa dalam menggulingkan masa orde baru. 

Meskipun memiliki energi yang kuat di awal-awal reformasi, dan dapat dikatakan semakin melek-politik. Namun dengan adanya pergeseran masa membuat energi ini semakin pudar dengan banyaknya kasus penyelewengan serta demokrasi yang berjalan tidak sehat. Saat ini kita hanya dapat melihat republikanisme berkobar secara antusias pada kampanye hingga menjelang Pemilu dan begitu saja usai tanpa adanya pembangunan nilai komunitas politis atau solidaritas sosial dari pemerintah yang terbentuk. Asumsi yang mengatakan bahwa rendahnya kesadaran politik tidak dapat ditunjuk sebagai penyebab tunggal mengapa preferensi republikan kandas seusai demonstasi ataupun seusai Pemilu. Secara realitas masyarakat dapat dilacak penyebabnya ialah politik jarang mendapat perhatian penuh para individu, kebanyakan orang hanya bersikap pasif sebagai penonton dalam demokrasi. Di samping itu Negara juga tidak pernah berada sepenuhnya dalam kontrol warganya. Oleh karena setelah itu tumbangnya otokrasi seusai Pemilu akan melahirkan banyak homo economicus daripada homo democraticius.

Ini membuktikan bahwa pemahaman demokrasi Indonesia dewasa ini telah melupakan aspek perlawanan demokratis. Yang mana lebih banyak konsensus dibanding disensus dalam keberlangsungan demokrasi. Jika terus dibiarkan akan beresiko pada terjadinya sistem mereduksi demokrasi menjadi tidak lebih dari sekedar label bagi pemerintah untuk berkuasa dan melanggengkan kedaulatannya.