REMPANG DITANGAN OLIGARKI

Kamis, 05 Oktober 2023

Investasi dipandang sebagai salah satu sumber utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi asing merupakan harga mati bagi sistem ekonomi kapitalis. Fakta konflik lahan seringkali terjadi pada proyek infrastruktur, hal ini sejalan dengan arah pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi melalui investasi. 

Ketidakpedulian pemerintah terhadap kampung tua dan situs sejarah pulau Rempang mengindikasikan bahwa negara berpihak pada oligarkhi. Masyarakat yang ingin mempertahankan haknya disebut sebagai pengganggu yang patut diberantas kehadirannya, dibui adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikannya. Sikap pemerintah ini semakin menunjukkan jati dirinya sebagai regulator bagi kepentingan para korporasi. 

Ancaman “buldozer” pun tak segan di lontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan.  “Dengan segala kemampuan yang ada pasti saya bulldozer karena saya mempertaruhkan momentum yang sudah baik ini, tidak boleh dihambat oleh siapapun. Karena ini bukan pekerjaan baru hari ini sudah berjalan selama 8 tahun kita rawat sampai pada titik ini , jadi jangan sampai ada konflik of interest. Saya akan turun dengan kewenangan saya untuk membuat anda susah”. Ancamnya. (CNN Indonesia, 1/12/22)

Ya, benar saja. Ini dibuktikan dengan pemerintah menurunkan berbagai alat pertahanan negara dari mulai aparat Militer, Polisi dan Satpol PP saat menyelesaikan sengketa tanah antara masyarakat Rempang dengan pihak BP Batam yang mewakili perusahaan investor (MEG & Xinyi Group).

7 September

Perhatian publik awalnya tertuju ke Pulau Rempang pada Kamis 7 September 2023. Kala itu terjadi kericuhan antara warga Rempang dengan aparat penegak hukum gabungan TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan Aset Badan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).

Ratusan warga dari 16 kampung tua Pulau Rempang yang terhimpun dalam satu barisan baku hantam dengan aparat keamanan di lapangan. Situasi sangat kacau. Gas air mata ditembakkan. Yang jadi persoalan, tembakan dari air gas air mata sampai masuk ke dalam satu sekolah yang berdekatan lokasi kerusuhan.

Warga bertujuan memblokade jalan agar tim gabungan tidak masuk ke wilayah mereka untuk mengukur lahan dan memasang patok untuk proyek Rempang Eco-City. Aksi terus berlanjut hingga Senin (11/9/2023) hingga Selasa (12/9/2023). Aparat mengamankan setidaknya 43 demonstran imbas kejadian tersebut.

Warga masih menolak kendati BP Batam sudah menjanjikan beberapa solusi. Di antaranya relokasi bagi masyarakat terdampak ke kawasan Dapur 3 Sijantung, Pulau Galang. Serta hunian tetap berupa rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah maksimal 500 meter persegi.

Alasan Warga Rempang Menolak Relokasi

Alasan pertama adalah adanya historis masyarakat Rempang dengan tempat yang mereka huni sekarang. Nenek moyang masyarakat Rempang adalah keturunan Kesultanan Riau Lingga yang sudah mendiami pulau tersebut sejak tahun 1720. Dan kampung yang saat ini mereka tempati dibangun sejak tahun 1843, sebelum Indonesia merdeka. Tanah ulayat ini seharusnya diberi kemudahan dalam administrasi agar segera memiliki sertifikat, bukan malah diusir di kampung sendiri.

Lalu alasan kedua adalah masyarakat Rempang adalah warga negara Indonesia yang dapat dibuktikan dengan kepemilikan identitas sebagai warga negara yang berdomisili di wilayah Rempang sehingga sudah selayaknya untuk mendapatkan pelayanan prioritas dibanding orang diluar wilayah tersebut ataupun orang asing. 

Alasan ketiga adalah terganggunya mata pencarian masyarakat Rempang. Sebagian besar masyarakat Rempang berprofesi sebagai nelayan. Jika mereka direlokasikan ketempat lain, bagaimana mereka akan bertahan hidup.

Solusi untuk Rempang

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menegaskan peristiwa di kawasan Pulau Rempang bukan penggusuran. Ia mengatakan yang terjadi adalah pengosongan lahan oleh yang berhak. Mahfud menyebut negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan pada 2001-2002 berupa Hak Guna Usaha (HGU) . Namun, tanah itu belum digarap investor dan tak pernah dikunjungi.

Selanjutnya, pada 2004, hak atas tanah itu diberikan kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, menurut Mahfud, Surat Keterangan (SK) terkait hak itu telah dikeluarkan secara sah pada 2001-2002. Ia pun menyinggung kekeliruan yang dilakukan KLHK. 

Kasus Kampung Tua ini berbeda dengan pendudukan yang dilakukan masyarakat Pulau Rempang atas bekas perkebunan HGU. Pendudukan oleh masyarakat Pulau Rempang ini tidak serta-merta menjadikan masyarakat tersebut menjadi pemilik tanah dimaksud. Terhadap hal pendudukan ini, harus ada kebijakan khusus dan tidak harus dipertahankan seperti Kampung Tua.

Model penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam—seperti usia pohon atau tanaman keras yang ditanam—pengakuan dan kesaksian masyarakat serta lembaga adat.

Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Nomor B.2593/Kemensetneg/D-3/DM.05/05/2015 tanggal 12 Mei 2015 merupakan jawaban terhadap surat tuntutan masyarakat Kampung Tua kepada Presiden. Inti surat ini memerintahkan Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kepulauan Riau, dan Kepala Badan Pengusahaan Batam untuk membuat kajian dalam rangka penyelesaian.

Untuk mencegah jangan sampai tanah dimiliki investor, sehingga investor cukup menyewa, perlu dilakukan dengan cara memperluas tanah yang dimiliki pemerintah daerah, dengan hak atas tanah oleh investor adalah hak pengelolaan.

Pemerintah daerah harus membuat peraturan daerah yang mengatur investor yang berinvestasi di daerahnya dilarang untuk membeli tanah dan mereka harus menyewa tanah masyarakat atau tanah pemerintah daerah. 

Akar sejarah harus dihormati dan dipertahankan dalam setiap langkah pembangunan. Pemerintah seharusnya tidak hanya melihat potensi ekonomi dari proyek-proyek besar, tetapi juga bagaimana proyek-proyek tersebut akan mempengaruhi dan mungkin mengubah identitas budaya dan tradisional suatu daerah. Pulau Rempang bukan sekadar tempat saja tetapi sebuah wilayah yang kaya akan sejarah, tradisi, dan budaya yang telah melekat pada identitas warga setempat selama ratusan tahun.

 

Penulis : Sintia Devi, S.I.Kom 

(Mahasiswa Magister S2 Ilmu Komunikasi Universitas Riau)