Pemilu Turki: Kemenangan Petahana, Kekalahan Lembaga Survei

Rabu, 31 Mei 2023

Yayat Cipasang

JUDUL di atas adalah bentuk dari sinisme yang akut. Ternyata, tidak hanya di Indonesia lembaga survei memiliki penyakit akut melainkan juga menjangkiti pemilu Turki.

Dalam istilah aktivis Adhie Massardi, lembaga survei telah bersalin rupa menjadi benalu demokrasi. Ada benarnya juga. Lembaga survei di Indonesia bukan malah mempromosikan banyak capres justru malah menggiring agar capres dibatasi dua kandidat atau secara sistematis menihilkan atau mendegradasi calon lain atas dalih metodologi. Aneh!

Sebelum pemilu putaran pertama hampir semua lembaga survei di Turki dari mulai yang gurem hingga yang “kredibel” mengunggulkan kemenangan lawan politik alias oposisi utama, Kemal Kilicdaroglu dari Partai Rakyat Republik (CHP).

 

Namun kenyataannya dalam pemilu putaran pertama 14 Mei 2023 Recep Tayyip Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai AK) meraih suara 49,5 persen dan lawannya dari oposisi 44,9 persen.

 

Kekeliruan fatal lembaga survei di Turki ditabalkan dengan hasil pemilu putaran kedua pada 28 Mei 2023 yang hasil sementara memenangkan Erdogan dengan memimpin suara 52,14 persen mengalahkan penantangnya Kemal Kilicdaroglu dengan suara 47,86 persen.

Seperti diperkirakan sejumlah analis dan ini juga yang menjadi bahan kampanye negatif lembaga survei, inflasi yang sempat mencapai 85 persen pada Oktober 2023 serta gempa bumi yang menewaskan sedikitnya 50.000 orang bakal menggerus suara Erdogan.

Namun seperti dikutip dari AlJazeera.com, justru suara Erdogan tidak tergoyahkan di wilayah gempa. Anomali inilah yang mengejutkan semua pihak termasuk analis di media Barat seperti The New York Times.

Lembaga Survei Dibayar?

Berbeda dengan di Indonesia, lembaga survei di Turki dari sisi pendanaan memang mengumumkan sumber donaturnya. Mereka fair dan terbuka. Dari sini bisa dilihat kecenderungan dalam mempengaruhi pemilihnya. Kebalikannya dengan di Indonesia, yang tidak pernah terbuka sumber dana untuk surveinya. Padahal untuk sekali survei saja membutuhkan dana miliaran rupiah.

Kecuali memang survei seperti yang pernah diduga oleh analis politik Rocky Gerung yang memperkirakan sejumlah lembaga survei melakukan kerja kongsi hanya mengutak-atik hasil akhirnya saja sehingga tidak sama persis. Cuma beda tipis persentase dan margin error.

Lembaga Survei Bukan Patokan

Kasus pemilu di Turki dan kekalahan telak lembaga survei harus menjadi pelecut dan memotivasi relawan Anies Rasyid Baswedan untuk bekerja keras dan tidak minder.

Jangan terlalu percaya statistik, data dan juga hasil survei. Karena data dan angka statistik itu hasil rekayasa. Bisa dikurangi dan bisa juga digenapkan. Tergantung kepentingannya.

Anies punya pengalaman berharga dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Semua lembaga survei mendegradasi Anies-Sandi selalu di urutan buncit. Di putaran pertam berada di posisi juru kunci. Kemudian di putaran kedua juga tak diunggulkan. Namun, hasilnya mengejutkan. Anies-Sandi memenangi Pilkada DKI dan beberapa lembaga survei diganjar rapor merah oleh Universitas Indonesia (UI).

Kini, lembaga survei yang mendapat rapor merah kembali menempatkan Anies sebagai capres dengan suara paling rendah untuk Pemilu 2024.

Kalau di kemudian hari mereka kembali keliru. Entah apa yang akan dilakukan publik kepada lembaga survei tersebut.

Apakah cukup hanya menudingnya benalu demokrasi?