TUAN GURU SAPAT DAN KEMAJUAN PENDIDIKAN DI INDRAGIRI HILIR (Tulisan untuk menyambut Haul Tuan Guru Sapat Ke-85)

Rabu, 22 Februari 2023

MOH. ZULHAM ALSYAHDIAN, S.Hum, M.Pd

(Guru SMP Negeri Satu Atap Kuala Keritang)

Marwahrakyat.com - Berbicara tentang dunia ulama atau ilmu ke-Islam-an di Kabupaten Indragiri Hilir, tidak bisa dilepaskan dari sosok almarhum Syekh H. Abdurrahman Shiddiq al-Banjari atau yang lebih dikenal dengan Tuan Guru Sapat (selanjutnya ditulis TGS). Selain karena keilmuan dan kealiman TGS, karya-karya tulis yang beragam, jabatan sebagai mufti Kerajaan Indragiri selama 27 tahun, membuat TGS lebih populer dan familiar di kalangan masyarakat Indragiri Hilir. Apalagi peringatan meninggalnya TGS (haul)-nya, oleh Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir dijadikan salah satu Event Wisata Religi di Negeri Seribu Parit ini. Eksistensi dan kontribusi TGS ini bak mercusuar di tengah kegelapan. Sehingga posisi TGS seakan-akan menjadi sosok yang tidak tergantikan, walau yang bersangkutan sudah lama meninggal dunia, dan generasi yang datang silih berganti.   

Peran Tuan Guru Sapat 

Dengan tanpa menapikan peran ulama atau tokoh agama yang lain, posisi TGS bagi masyarakat Indragiri Hilir (sampai sekarang ini) menjadi sangat penting. Lihatlah betapa maraknya daftar kunjungan para peziarah ke Kampung Hidayat Kecamatan Kuindra Kabupaten Indragiri Hilir, yang datang untuk berziarah ke pusara beliau, terutama pada hari-hari besar Islam. Apalagi pada hari peringatan meninggalnya (haul) TGS, ribuan orang datang dari berbagai daerah di Indragiri Hilir, bahkan sampai ke luar Provinsi Riau (khususnya dari Provinsi Jambi, Bangka Belitung, dan Kalimantan Selatan). Tidak jarang di antara para peziarah ada juga yang datang dari mancanegara, semisal Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, bahkan dari negara Timur Tengah, Yaman. 

Tentunya timbul pertanyaan dari kita, ada apa dengan TGS ? Mengapa sampai dengan detik ini, sosoknya menjadi magnet yang menarik animo bagi banyak orang untuk datang berkunjung, sementara yang bersangkutan sudah meninggal dunia 82 tahun silam (TGS meninggal pada tahun 1939). Bahkan, “dari dalam kuburnya pun”, TGS masih bisa memberikan kontribusi bagi orang-orang yang masih hidup, baik kontribusi secara ekonomi, sosial kemasyarakatan, maupun keagamaan.

Tentunya, kalau bukan pribadi yang “spesial” dan “istimewa”, hal ini tidak akan terjadi begitu saja. Tidak heran misalnya, seorang Ahmad Saifuddin, dalam bukunya Ilmuwan-Ilmuwan Indonesia yang Diakui Dunia bahkan memasukkan TGS sebagai salah seorang dari ilmuwan Indonesia tersebut, bersama dengan Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdus Samad al Palimbani, Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi, dan lain-lain. 

Bukan tanpa alasan juga, apabila Ensiklopedi Islam Jilid Ketiga yang diterbitkan oleh PT Ichtiar Baru Van Hoeve, memasukkan TGS sebagai satu tokoh Islam yang sangat berjasa dari daerah Riau. Sebuah apresiasi dari pemerintah, sekaligus pengakuan akan eksistensi dan kontribusi TGS, walaupun kiprah yang bersangkutan saat itu bersifat lokalitas. Tidak heran juga kemudian, UU Hamidy, menempatkan TGS sebagai salah satu dari lima belas tokoh pendidikan Islam di Riau.

Tuan Guru Sapat dan Dunia Pendidikan Indragiri Hilir  

Dengan berbagai peran dan aktivitasnya, TGS dikenal sebagai seorang ulama yang mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat di Indragiri Hilir (khususnya). Bahkan untuk memajukan pendidikan tersebut, TGS mendirikan madrasah yang mana sistem pendidikannya sama dengan sistem pesantren di Pulau Jawa. Madrasah ini menjadi madrasah pertama di Indragiri. Madrasahnya menampung murid-murid dari daerah sekitar, Kalimantan, Malaysia, dan Singapura dengan tidak dipungut bayaran. Bahkan, menurut Saifuddin, lokasi pesantren atau madrasah ini, berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan di daerah Riau. 

Madrasah ini pernah mencapai kejayaan sehingga masyhur sampai ke Singapura dan Malaysia. Karena ramainya pelajar dari luar daerah, maka TGS membina tidak kurang 100 pondok di sekitar madrasah dan masjid. Pondok-pondok itu disediakan bagi pelajar-pelajar yang benar-benar memerlukan tempat kediaman tanpa dikenakan bayaran. TGS juga memberikan keperluan dasar lainnya kepada para santri, berupa beras bagi santri yang tidak mampu. Bahkan di antara para muridnya yang pandai, ada yang diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, terutama ke Makkah, yang kesemua pembiayaannya ditanggung oleh TGS. Kepada mereka yang melanjutkan ke luar negeri, selalu dipesankan bila telah tamat belajar, supaya segera kembali ke tanah air untuk menyebarluaskan ilmu yang diperolehnya.

Pada titik ini, masyarakat Indragiri Hilir seyogyanya termotivasi untuk kembali berperan dalam memajukan pendidikan di negeri seribu parit ini. Kalau pada masa lampau, TGS secara visioner menjadi salah satu pioner kemajuan pendidikan di Riau pada umumnya, maka Indragiri Hilir hari ini seharusnyalah tetap sebagai daerah terdepan dalam kemajuan dunia pendidikan. Karena kita memiliki modal historis dan modal sosial dalam bidang ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh TGS.

Kalau Bung Karno dulu pernah berkata, “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”, maka dalam konteks dunia pendidikan di Indragiri Hilir hari ini, bagaimana dengan menapaktilasi TGS menjadi motivasi dan inspirasi bagi segenap insan pendidik untuk secara kolaboratif bergerak bersama demi kemajuan pendidikan di daerah ini.

Semoga bermanfaat.