Aku, Kau, Dia Dan Hijrah Cintamu

Senin, 03 Oktober 2022

Aku, Kau, Dia Dan Hijrah Cintamu 

Karangan : Tomi Ramadani 

Dengan ini, aku menyatakan bahwasanya, aku, Lina Sri Rahayu menghijrahkan cintaku kepada cintaNya yang lebih nyata kekekalannya.


Aku pikir awalnya jarak dan waktu tidak akan membuat hubungan kami bermasalah. Ya, hubungan tanpa status yang kujalani dengan Rio selama hampir enam tahun ini. Nyatanya, ia hilang tanpa kabar setelah mengatakan jika ia sedang sibuk menyusun skripsi dan dia juga berkata… ingin menenangkan pikiran dulu yang artinya adalah tidak ingin diganggu dengan hubungannya denganku dulu. Aku pikir waktu itu, mungkin benar juga, lebih baik tidak menghubungiNya terlebih dulu. Saat itu aku pun sedang sibuk dengan pekerjaanku dan great something. Itu, sekitar tujuh bulan yang lalu. Namun, lama aku menyadari, jika aneh rasanya Rio tidak ada sekalipun memberiku kabar. Aku merasa ia menyembunyikan sesuatu dariku.

Beberapa minggu lalu, aku iseng bertanya melalui chat pada temanku Mbak Rani yang satu kampus dengan Rio di fakultas kedokteran. Aku bertanya: Apa Rio sedang dekat dengan gadis di sana? Mbak Rani menjawab jika ia mendengar gossip kalau Rio menyukai anak fakultas kebidanan bernama Vina. Gadis idola di kampus mereka karena cantik dan kesalihannya. Vina adalah anak yatim dari keluarga sederhana dan karena, kecerdasannyalah ia mendapat beasiswa untuk mengenyam bangku kuliah.

Sontak setelah itu aku membandingkan Vina dengan diriku sendiri. Seperti besi dengan intan permata. Berbeda jauh. Jelas saja, Rio akan memilih Vina.

Kabar lain yang kudapat adalah perubahan Rio yang lebih baik. Lebih baik di sini adalah perilaku Rio jadi lebih alim. Aku menyimpulkan, Rio berubah untuk bisa bersanding dengan Vina.
Perempuan baik teruntuk pria baik juga, benar kan?

Aku menghela napas kasar seraya melempar kerikil di genggamanku ke tengah-tengah laut.
Aku menoleh menatap Risma. “Tumben ngajak main ke pantai, Ris? Kamu emang nggak sibuk? Udah ijin sama mas Akbar?”
Perempuan berjilbab lebar warna coklat itu menyunggingkan senyumnya yang hangat. “Malah, mas Akbar semangat banget buat ngizinin aku keluar sama kamu. Supaya kamu nggak stres, katanya” Risma tertawa pelan.

Aku menatap Risma tajam. Lalu berikutnya, aku mendapati perempuan itu nyengir lucu.
“Aku kangen sama kamu sekalian refreshing gitu. Aku mau dengerin curhatan kamu plus ngasih wejangan lagi buat kamu,” lanjut Risma penuh nasehat dan canda.
Ah, Risma memang sahabatku yang paling mengerti.

Melihatnya dengan jilbab anggunnya itu, aku berpikir, kapan aku akan menyusul jejaknya? Apa Rio akan kembali padaku jika aku memakai jilbab, memperbaiki sifat manjaku dan sifat-sifat burukku yang lain? Ugh, tapi untuk saat ini aku belum berniat sama sekali menutup aurat.

Aku mendekat padanya dan memeluk dari samping. Lantas menggumam di dekatnya, “kamu beruntung ya, Ris. Impian kamu dari dulu udah terwujud, punya suami yang saleh dan bisa bimbing kamu meraih surgamu.”
“Dulu malah, aku yang beranggapan kamu yang beruntung dibanding aku, Lin,” ujar Risma, tangannya bergerak menepuk pipiku pelan, perlahan tangannya bergerak mengusap rambut sebahuku. “Kapan kamu mau menutup aurat? Ayo, Lin berjuang sama-sama di jalan Allah sama aku. Aku nggak mau kamu nyesal di lain hari.”

Aku mendengus kecil. Aku berjalan agak menjauh dari Risma lalu menatap langit. Jujur mataku berkaca-kaca saat ini. Entahlah kenapa masih ada sedikit ragu di hatiku.

Risma menepuk pundakku dari belakang. Ia menghela nafas lalu berucap, “kamu tau kan, Lin, kalau menutup aurat itu diwajibkan. Dulu … kamu pernah bilang padaku ‘kan, setelah kamu masuk Islam, kamu akan menutup aurat, ini sudah setahun berlalu loh.”

Aku mengingat saat-saat aku mengucap dua kalimat syahadat dulu. Rasanya cintaNya menyusup ke tulang-tulangku, menggetarkan jiwaku yang kosong bertahun-tahun. Mengisi kekosongan hidupku yang yatim-piatu sejak kecil. Allah telah mengisi hatiku dengan cintaNya tanpa kusadari.

Aku membalik badan, menghadap pada Risma yang saat ini menatapku dengan berkaca-kaca. “Ak aku ragu, Ris. Aku takut nggak bisa istiqomah.”

Risma membacakan sebuah ayat Al-Qu’an. Aku sepertinya tahu ayat ini, ini … surat Al-Ahzab ayat 59. Ayat yang menjelaskan penting dan wajibnya berjilbab bagi perempuan muslim.
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka! Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Aku langsung menubrukkan tubuhku pada Risma. Memeluknya erat. Allah, aku sudah terlalu jauh darimu. Aku berbisik lirih di dekat telinganya, “aku mau, berhijrah kayak kamu Ris tapi, apa … Allah mau menerimaku? Mau menerima keterlambatanku meraih keridhoanNya?”
“Jangan meragukan kebesaran Allah, Lin. Allah adalah sebaik-baiknya tempat kamu meminta. Allah juga Maha Pemaaf. Asalkan kamu bersungguh-sungguh, maka InsyaAllah, Allah akan memaafkanmu dan tidak ada kata terlambat bagi orang yang sungguh-sungguh bertobat.”
Aku mendongak menatapnya sendu. “Terima kasih, Ris, kamu sudah mau jadi sahabat yang mengerti aku. Selalu mengingatkanku ketika aku salah.”

Senyum tersungging di bibir Risma. “Nah, begitu dong. Kamu harus meniatkan diri kamu, kalau hijrah kamu ini lillahita’ala, ikhlas hanya karena Allah semata. Bukan untuk siapapun yang lain. Ikhlaskan Rio, Lin. Kalau jodoh nggak akan kemana.”

Risma mengeluarkan sebuah kain dari dalam tasnya. Saat ia mengulurkannya padaku, baru kutahu kalau itu adalah sebuah kerudung berwarna merah jambu. Ia mendekat dan mengenakan kerudung itu padaku. Aku tersenyum memegang kerudung yang kini menjulur panjang di atas perutku.

Aku menatap Risma dengan mantap. “Aku akan mencoba mengikhlaskan dia,” ucapku dengan nada suara bergetar menahan air mata. “Dengan ini pilihanku tidak akan salah. Aku … akan meneruskan S-2 ku di Kairo.”

Risma menatapku bahagia dan menepuk lenganku yang dilapisi jaket coklat muda. Aku bisa merasakan kebahagiannya itu dari matanya yang menjadi pusat kejujurannya.

Sebuah salam menginterupsi pembicaraanku dengan Risma. Aku membalikkan badan dan yang kudapati adalah Rio dan adiknya dengan senyum lelaki itu yang kurindukan selama ini. Hampir saja aku berlari ke arahnya untuk memeluknya jika Risma tidak berdeham keras menyadarkanku pada kenyataan.

“Waalaikumussalam. Menatap seseorang yang berlainan jenis dengan syahwat rasa ingin memiliki itu termasuk dalam zina nya mata. Adalah zina seburuk-buruknya jalan.”
Aku menatap Risma malu. Baru saja aku ingin berhijrah tetapi, aku sudah hampir melakukan kesalahan.

Aku segera menjawab salam tadi. Wajahku kudongakkan, menatapnya lurus. “H–hai!” sapaku dengan kaku. “Apa kabar?”
Rio menatap Risma sekilas lantas beralih padaku. Wajahnya terlihat sekali jika ada yang hendak dibicarakannya. Senyumnya terbit dengan kaku. “Baik.”

“Ah! Sepertinya kalian berdua butuh waktu untuk bicara. Melihat Rio datang bersama dengan adiknya, aku akan meninggalkanmu bersamanya, Lin. Ingat jangan melakukan hal aneh-aneh! Kau sudah berjanji padaku dan dirimu sendiri, ingat!” Risma pergi setelah menguluk salam.

Aku memilih duduk di bebatuan yang ‘tak jauh dari tempat semula dan Rio serta adiknya mengikutiku.

“Ada yang ingin kubicarakan. Aku yakin, kamu sudah tahu dari Mbak Rani tentang”
Bibirku bergetar dan tanpa sadar menyahut, “Ya, aku sudah tahu.”
“Maaf, Lin,” ucap Rio. Kepalanya terangkat. Menerawang jauh ke langit. “Maaf selama ini aku telah menjadi pengecut. Maaf telah mengkhianatimu. Hatiku yang sempit terlalu takut menyakitimu, Lin. Tapi, aku tidak ingin bermunafik, kalau, aku jatuh cinta pada kesalihannya. Maaf. Aku tidak berharap kamu mau memaafkan aku karena, aku memang tidak pantas untuk dimaafkan. Maaf telah menghilang di saat kamu butuh arahan dariku.

“Dan minggu depan … aku akan menikah. Aku harap kamu mau datang.”

Mataku berkaca-kaca mendengar ucapan Rio. “Tidak apa, Aku sudah memaafkanmu. By the way, selamat, ya. Semoga kamu bahagia dengannya. Dia memang pantas untukmu. Aku ikhlas kamu bersamanya,” ucapku dengan senyum kaku. “Dan maaf, aku nggak bisa datang. Jangan khawatir, do’aku selalu menyertai pernikahanmu. Do’a kan aku pula. Supaya aku bisa lebih baik dari sebelumnya.”

Allah, seperti inikah rasanya jatuh dari cinta yang salah? Allah, seperti inikah rasanya menjadi orang yang terbuang? Seperti inikah rasanya mencintai dengan cara yang salah? Tunjukkan padaku, ya Allah, jalanMu! Beri aku kesempatan untuk rebah di pelukMu. Tunjukkan padaku, yang kata orang cintaMu lah yang sebenar-benarnya cinta. Kekal tanpa terbatasi oleh masa. Allah, aku inginkan cintaMu, izinkan aku berlutut menyerukan namaMu di antara cintaMu.