Asal Mula Budidaya Kelapa Indragiri Hilir

Selasa, 17 Mei 2022

Oleh: Atqo Akmal, Dosen Sejarah UIN Imam Bonjol Padang

Marwahrakyat.com, Mudik lebaran yang lalu kembali membuka ingatan dan cakrawala saya tentang satu topik yang belum tuntas. Saat melewati penanda perbatasan Inhil-Inhu seperti biasa saya mengamati kiri kanan jalan yang masih seperti sedia kala diapit oleh perkebunan-perkebunan kelapa rakyat, meski di banyak kesempatan terlihat kebun-kebun kelapa tak terurus dan diselubungi semak belukar. Apa daya dua tahunan ini konsentrasi saya banyak dialihkan dengan urusan-urusan non-akademik dan administratif, serta memang belum bisa melanjutkan tulisan-tulisan saya tentang sejarah perkelapaan Indragiri Hilir karena masalah teknis, pendanaan, menunggu momen yang tepat untuk masalah ini.


Di sela kepulangan yang singkat, saya berkesempatan untuk berdiskusi dengan seorang teman yang telah lama terlibat dalam pengelolaan kebijakan hulu dan rehabilitasi perkebunan kelapa Inhil. Sebagai orang yang bisa dibilang pertama kali menuliskan perkelapaan Indragiri Hilir dari perspektif sejarah, maka tak ayal bila saya ditanya “siapa yang merintis budidaya kelapa Indragiri Hilir?” Pertanyaan ini juga saya pertanyakan ketika pertama kali memulai penelitian tentang sejarah perkelapaan Indragiri Hilir, dan sampai sekarang saya belum menemukan data, fakta, atau sosio-fact yang mampu menjelaskan dengan akurat tentang hal ini. Karena itu kemudian saya hanya memfokuskan penelitian pada scope yang terjangkau untuk direkontruksi kembali (Akmal, 2021), meskipun dalam tulisan saya ada sedikit memaparkan ulasan tentang asal-usul budidaya Indragiri Hilir tetapi secara eksplisit tidak ada kesimpulan yang diambil disana.


Meski mengalami penyusutan, perkebunan kelapa Indragiri Hilir tetap menjadi klaster perkebunan kelapa terbesar di Indonesia, serta produksi tahunannya mendominasi keseluruhan produksi kelapa nasional. Yang menjadikannya lebih spesial adalah budidaya kelapa Indragiri Hilir memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri dibandingkan dengan budidaya kelapa di daerah lainnya. Faktor geografis Indragiri Hilir dengan dataran rendah dengan komposisi tanah rawa dan gambut serta pasang-surut aliran sungai secara periodik, kesemuanya mengharuskan pola budidaya kelapa dilakukan dengan cara yang berbeda dengan budidaya kelapa di tanah mineral. Karena itu budidaya kelapa Indragiri Hilir memunculkan suatu kekayaan intelektual kolektif masyarakat Inhil dalam teknik agrikluturnya yang dikenal dengan istilah Trio Tata Air. Sistem budidaya kelapa dengan teknik Trio Tata Air ini memanfaatkan tiga unsur utama yaitu parit, tanggul, dan katup buka-tutup (klep) yang ketiganya berfungsi secara bersamaan mengontrol volume air yang ada pada perkebunan kelapa. 


Lalu dari manakah teknik budidaya Trio Tata Air ini berasal? Siapa atau kelompok masyarakat mana yang merintis budidaya kelapa Indragiri Hilir? Lagi-lagi pertanyaan ini tidak bisa dijawab, saya pun beranggapan akan sangat sulit untuk menjawabnya. Hanya saja ada beberapa petunjuk yang dapat membawa kita lebih jauh tentang bagaimana asal-usul budidaya kelapa Indragiri Hilir. Budidaya kelapa sebagai komoditas ekspor sebenarnya telah dimulai pada masa kolonial Belanda pada akhir abad ke 19, ketika kebutuhan pasar global terhadap kopra (dried coconut kernel) melonjak untuk industri minyak dan lemak Eropa, semenjak itu produksi kopra nusantara mendominasi produksi kopra dunia sampai menjelang krisis global 1930an. Pada masa tersebut pusat produksi kelapa nusantara berasal dari wilayah timur (Maluku dan Sulawesi), perusahaan-perusahaan perkebunan kolonial (onderneming) sempat berusaha membudidayakan kelapa namun kemudian mengalami kegagalan dan kebangkrutan karena berbagai macam faktor dan return of investment yang lambat dibandingkan jenis komoditas lain pada masanya, sebaliknya usaha perkebunan kelapa rakyat lebih sukses dan bertahan (Heersink, 1994).


Faktanya salah satu klaster perkebunan kelapa klasik era kolonial berada di Kepulauan Selayar, di selatan Sulawesi, hal ini dijelaskan oleh Heersink (1994) dalam karyanya berjudul “Selayar and The Green Gold: The Development of The Coconut Trade on an Indonesian Island (1820-1950).” Tulisan Heersink ini kemudian ditimpali oleh Rasyid Asba (2018) yang lebih jauh menerangkan bahwa perdagangan kelapa nusantara timur berkontribusi terhadap munculnya integrasi regional yang berpusat di Makasar. Apa hubungannya dengan perkelapaan Indragiri Hilir? Jawabannya adalah sebagian orang berpendapat bahwa budidaya kelapa Indragiri Hilir dibawa oleh masyarakat diaspora Bugis dari Sulawesi bagian selatan yang masyarakatnya banyak berimigrasi ke Inhil. Benarkah hal tersebut? Lagi-lagi hal ini sekedar asumsi/teori, karena pola budidaya perkebunan kelapa nusantara timur era kolonial dilakukan dengan cara yang berbeda, hal tersebut dijelaskan oleh Heersink (1994) berdasarkan studi sejarahnya atas arsip-arsip yang berkaitan dengan perkebunan Kepulauan Selayar dan perkebunan kelapa nusantara timur pada umumnya.


Berdasarkan cerita rakyat masyarakat Indragiri Hilir sendiri sering mengaitkan pola budidaya Trio Tata Air dengan persona Tuan Guru Sapat (Syeikh Abddurrahman Siddiq al-Banjari), bahkan kisah ini dapat dilihat dari rilis yang dikeluarkan oleh pemerintah Inhil. Apakah benar hal tersebut? Lesley Potter sempat melakukan penelitian tentang diaspora masyarakat Banjar ke pantai timur Sumatera dan beberapa daerah di Malaysia yang kemudian dirilis dalam edisi Sejarah Ekonomi Indonesia Modern (Lindblad, 2000) berjudul “Orang Banjar di dan di Luar hulu Sungai Kalimantan Selatan: Studi tentang Kemandirian Budaya, Peluang Ekonomi, dan Mobilitas.” Potter merangkai tulisannya tersebut dengan studi komparatif masyarakat Banjar tempatan dan yang berimigrasi, dan salah satunya Potter melakukan observasi ke Sapat dan wawancarai keluarga Haji Arsyad (saya lupa nama aslinya tercatat di tulisan Potter) yang menurut cerita meminta Syeikh Abdurrahman Siddiq untuk mendidik dan menjadi guru spiritual bagi masyarakat Banjar di Indragiri. Mengutip pendapat informan, Potter menjelaskan tentang gelombang kedatangan masyarakat Banjar ke Indragiri Hilir dan faktor-faktor penyebabnya, salah satu poin pembahasannya adalah Potter mencatat pengembangan perkebunan kelapa Indragiri Hilir ini sejalan dengan kedatangan para imigran Banjar, salah satunya  karena kesamaan geografis antara  Kalimantan Selatan dan daerah hilir Sungai Indragiri. Tetapi ada satu hal yang belum menyakinkan dalam catatan Potter (2000) berkaitan dengan perkebunan kelapa di hilir Sungai Indragiri, yaitu komoditas klasik Kalimantan Selatan yang laku di perdagangan internasional masa itu adalah Lada, bukan kelapa, karena itu dugaan bahwa teknik budidaya ini dibawa oleh imigran Banjar masih bisa diperdebatkan. 


Baru-baru ini saya mendengar fakta baru bahwa pada dekade 1910-an telah berdiri perusahaan perkebunan (onderneming) kelapa kolonial yang berdiri di Indragiri Hilir, yaitu Pangalian Cultuur Maatschappij. Fakta ini saya kroscek dengan katalog database arsip nasional Belanda, datanya tersedia, namun belum sempat diakses lebih jauh. Sebelumnya saya tidak menemukan perusahaan onderneming di Indragiri yang bergerak pada sektor perkebunan kelapa ketika membaca data yang dimiliki oleh salah seorang professor yang meneliti tentang nasionalisasi perkebunan Sumatera Timur, yang ada hanya satu perusahaan sektor perkebunan karet, bisa jadi menjelang kemerdekaan Indonesia perusahaan tersebut telah bangkrut terlebih dahulu sehingga tidak terdokumentasi sebagai salah satu perusahaan yang dinasionalisasi. 
Terlepas dari semua teori-teori yang ada tentang bagaimana asal usul budidaya kelapa Indragiri Hilir, yang bahkan saya pribadi kurang tertarik bila hanya jatuh pada usaha menjelaskan ini berasal dari mana dan oleh siapa yang memperkenalkannya. Hal yang utama dari semua ini adalah budidaya kelapa dengan teknik Trio Tata Air adalah kekayaan intelektual kolektif milik masyarakat Indragiri Hilir, sebuah inovasi teknik agrikultur yang dikembangkan oleh masyarakat agrikultur yang hidup di daerah rawa dan gambut pasang-surut aliran sungai Indragiri. Saya teringat ketika melakukan wawancara dengan petugas pelaksana Project Management Unit Smallholder Coconut Development Project (SCDP) Indragiri Hilir pada tahun 1980an, dia menjelaskan ketika datang penyuluh pertanian pusat untuk memberikan pendampingan dalam budidaya dan pembibitan kelapa, para penyuluh tersebut terheran dengan teknik budidaya kelapa Inhil dan sebaliknya mereka yang kemudian belajar dan mengamati bagaimana keunikan pola budidaya kelapa yang telah turun-temurun diterapkan oleh masyarakat Inhil. Kekayaan intelektual kolektif tentang teknik budidaya kelapa Indragiri Hilir ini sebenarnya masuk dalam kategori intangible heritage and intellectual property yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat Indragiri Hilir, dikarenakan keunikan dan kekhasannya dibandingkan dengan budidya kelapa lainnya di Indonesia, bahkan mungkin dibandingkan seluruh dunia, mengingat klaster pekebunan kelapa Indragiri Hilir merupakan yang terluas di seluruh dunia.
 
Referensi:
A. Akmal, W. Warto, and S. Sariyatun, "The Rapid Growth of Coconut Estates in Indragiri Hilir 1980s – 1990s," Jurnal Sejarah Citra Lekha, vol. 5, no. 2, pp. 121-134, Jan 2021. https://doi.org/10.14710/jscl.v5i2.23594
Asba, A. R. (2018). Integrasi Ekspor Kopra Makassar di Antara Kontinuitas dan Diskontinuitas. Makara Human Behavior Studies in Asia. https://doi.org/10.7454/mssh.v10i2.23
Heersink, C. G. (1994). Selayar and the green gold: The development of the coconut trade on an indonesian island (1820-1950). Journal of Southeast Asian Studies. https://doi.org/10.1017/S0022463400006676
Potter, Lesley. 2000. “Orang Banjar di dan di luar Hulu Sungai Kalimantan Selatan Studi  tentang  Kemandirian  Budaya  Peluang  Ekonomi  dan  Mobilitas”,  dalam  Sejarah Ekonomi Modern Indonesia. Thomas Lindblad (ed.). Jakarta: LP3ES